Jakarta - Staf Ahli Menteri Perdagangan Bidang Manajemen, Hesti Indah
Kresnarini menyatakan, perajin Indonesia masih terkendala dengan
masalah pemasaran akibat pembinaan yang masih kurang tepat sasaran.
\"Memang Kemendag dan Dekranas kerap menggelar pameran untuk para
perajin. Masalahnya yang menjadi peserta ya hanya itu-itu saja,\" kata
Hesti di Jakarta (17/9).
Menurut Hesti pembinaan seharusnya dilakukan per generasi. Artinya
setelah satu generasi perajin berhasil mengikuti tiga hingga empat
pameran, maka sebaiknya dilepas dan dilakukan pembinaan pada perajin
yang membutuhkan binaan. \"Kalau sudah bisa mengikuti tiga atau empat
pameran, artinya mereka sudah cukup matang untuk dilepas. Maka sudah
saatnya melakukan pembinaan bagi perajin yang masih hijau,\" jelas
Hesti.
Dengan begitu perajin akan menjadi mandiri untuk mampu memasarkan
produknya sendiri dan membuka peluang untuk perajin lain untuk turut
berkembang, sehingga terlepas dari masalah pemasaran.
Lebih lanjut Hesti mengungkapkan bahwa masalah pemasaran yang dialami
oleh para perajin menyebabkan kontribusi ekspor nasional kerajinan
kriya Indonesia masih tergolong kecil dibandingkan dengan ekspor dari
sektor lainnya. \"Rata-rata per tahun ekspor kerajinan kita baru
mencapai US$600 juta. Padahal saya yakin bisa lebih daripada itu,\"
imbuh Hesti.
Wakil Presiden Boediono juga sempat menyatakan bahwa salah satu
masalah utama industri kerajinan adalah sulitnya para pengrajin
mengakses modal dari perbankan. Boediono berharap seluruh pihak,
termasuk pemerintah dapat menyusun langkah strategis agar persoalan itu
dapat diatasi.
“Harus kita akui industri kerajinan menghadapi sejumlah hambatan,
antara lain akses permodalan bagi setiap level usaha mikro menengah.
Insiatif pengrajin dan perbankan akan menyukseskan itu. Bimbingan
pemerintah juga penting, yaitu membuat regulasi mendukung industri
kerajinan Tanah Air,” ujar Wapres.
Wapres juga menyoroti masalah branding, teknik pemasaran, paten, dan
pengembangan produk ramah lingkungan. Namun dia yakin, pengusaha lokal
dapat menghadapi seluruh tantangan terkait pemasaran itu karena selama
ini terbukti bisa bertahan meski krisis pernah melanda Indonesia.
“Semakin ketat persaingan antar produk kerajinan di dunia terutama dalam
hal harga, kualitas dan desain namun saya sangat yakin tantangan itu
tidak akan menciutkan nyali pengrajin, malah itu akan mendorong
pengrajin semakin kreatif memasarkan produk-produknya,” kata Boediono.
Boediono menegaskan kerajinan menjadi salah satu bagian dari 14 lini
industri kreatif yang menjadi unggulan pemerintah. Oleh karena itu
pemerintah akan mengupayakan supaya problem permodalan para pengrajin
dapat ditangani segera. “Industri kerajinan merupakan 14 bidang industri
kreatif yang potensial karena memberi sumbangan besar pada perekonomian
negara. Kita harus menangani sungguh-sungguh hambatan tadi,” tandasnya.
Kerajinan Indonesia seperti anyaman tikar, bordir, ukiran, dan kursi
meja, saat ini dipasarkan ke 180 dengan negara tujuan utama ekspor
adalah Amerika, Jepang, Inggris, Jerman, Australia, Prancis dan Belanda.
Nilai ekspor kerajinan pun selalu meningkat di mana tahun lalu mencapai
US$ 700 juta, dibanding 2011 sebesar US$ 660 juta. “Apabila kita bisa
mengatasi hambatan-hambatan tadi, industri kreatif bisa mencapai omzet
puluhan triliun dalam waktu tidak terlalu lama,” ujarnya yakin.
AEC 2015
Sudah sepantasnya masalah-masalah yang menerjang industri kerajinan
Indonesia diselesaikan oleh pemerintah. Terlebih dengan hadirnya
komunitas masyarakat ekonomi ASEAN (AEC) 2015. Bahkan Ketua Asosiasi
Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ambar Tjahyono
menilai pemerintah Indonesia belum melakukan tindakan apapun.
Ambar Tjahyono mengatakan, di antara negara-negara di Asia Tenggara
saat ini terjadi perdagangan yaitu ekspor dan impor. “Perdagangan di
antara negara-negara Asia Tenggara sendiri sudah bagus dan trennya terus
meningkat,” ujarnya.
Apalagi, lanjutnya, saat ini keadaan Eropa dan Amerika Serikat (AS)
yang sedang jatuh akibat krisis, jadi keadaan itu memaksimalkan potensi
di Asia Tenggara dan Cina. Menurutnya, potensi itu berupa ekspor maupun
impor termasuk yang terjadi di Indonesia. Namun, tambahnya, kalau
Indonesia dibanjiri barang impor saat AEC terjadi, maka Indonesia bisa
menjadi pasar dan bukan pelaku AEC. “Jadi kalau kita baru siap-siap pada
2014 maka itu sudah terlambat. AEC harus dipersiapkan jauh-jauh hari,”
ucapnya.
Ambar mengaku, para pelaku usaha mebel dan kerajinan terus menerus
meningkatkan kualitas produknya, termasuk desain, sampai kualitas
standar barang untuk , termasuk mebel dan kerajinan Indonesia untuk
menghadapi AEC, mereka. Namun dia menyangkan karena pemerintah Indonesia
termasuk Kementerian Perdagangan (Kemendag), sampai Kementerian
Perindustrian (Kemenperin) belum melakukan tindakan untuk menghadapi
AEC.
Sumber : http://www.neraca.co.id
No comments:
Post a Comment